Senin, 15 November 2010

Pemikiran Natsir


BAB I
PENDAHULUAN
Tak banyak orang yang bisa menggabungkan kefasihan seorang cendekiawan dengan kearifan politik seorang negarawan. Mohammad Natsir (1908-1993) termasuk di antara sedikit orang itu. Natsir dibesarkan di tengah-tengah keluarga muslim yang taat, Natsir kecil telah berkenalan dengan pendidikan agama dalam lingkungan tradisional yang agamis. Lalu Natsir berkenalan dengan pendidikan barat di tengah lingkungan modern yang dibawa kolonialisme. Dalam diri Natsir pun bertemu hasil pendidikan agama yang memberi dasar-dasar religiusitas dengan hasil pendidikan  barat yang mengenalkan nilai-nilai modern. Natsir adalah seorang terpelajar berpendidikan barat yang memahami dengan fasih ajaran-ajaran Islam. Natsir memberi sumbangan besar bagi bangsanya dalam posisinya sebagai cendekiawan-budaya muslim, tokoh politik, dan negarawan secara sekaligus. Adalah mustahil memetakan pemikiran cendekiawan muslim Indonesia dengan mengabaikan pikiran Natsir.
Mustahil pula merekontruksi sejarah politik Indonesia dengan menghapus peran Natsir. Pun mustahil membuat daftar negarawan yang mampu bertindak konstitusional, demokratis dan terhormat, yang jumlahnya amat sedikit itu dengan menyingkirkan nama Natsir. Ayahnya yang merupakan seorang ulama terkenal di Indonesia yang membuat lingkungan seperti ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan sang putra. Mendapat ijazah perguruan tinggi tarbiyah Bandung, mendapat gelar Doktor Honoris Causal dari Universitas Islam Indonesia (dulu sekolah tinggi Islam), Yogyakarta. Aktif pada dunia pendidikan di Bandung, menjadi pemimpin pada direktorat pendidikan di Jakarta tahun 1945, kemudian ia menjadi anggota majelis permusyawaratan rakyat Sumatera. Tahun 1946, ia mendirikan partai MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Ia juga menjabat menteri Penerangan selama empat tahun. Perjuangan Muhammad Natsir ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negara serikat, Muhammad Natsir menentangnya dan mengajukan pembentukan negara kesatuan republik Indonesia yang kemudian dikenal dengan “ Mosi Integral Natsir.[1] Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta membentuk kabinet sekaligus menjadi perdana menterinya. Tapi belum genap setahun ia dipecat karena bersebrangan dengan presiden Soekarno. Ia tetap memimpin Masyumi dan menjadi anggota parlemen hingga tahun 1957. ia juga menjalin hubungan baik dengan gerakan-gerakan Islam Internasional. Untuk saling tukar pengalaman dan saling mengokohkan persatuan. Tahun 1967, Muhammad Natsir dipilih menjadi Wakil ketua Muktamar Islam Internasional di Pakistan.
            Muhammad Natsir, baik kapasitasnya sebagai negarawan, pemimpin umat, maupun sebagai Ketua Umum Partai Masyumi memberikan sumbangan sangat berharga bagi keberlangsungan hidup beragama dan bernegara. Sebagai seorang muslim, sekaligus sebagai pemimpin umat, Natsir dengan gigih memperjuangkan apa yang menjadi keyakinannya itu[2].
           

BAB II
Gagasan Pemikiran Natsir
2.1.   Ideologi Politik
Menurut Natsir orang Islam itu mempunyai falsafah hidup, dapat disimpulkan dalam satu kalimat dalam Al-Quran yang maksudnya : “Tidaklah aku jadikan jin dan manusia itu, melainkan untuk mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Addzariyat : 56). Jadi, seorang Islam hidup di dunia ini adalah dengan cita-cita hendak menjadi seorang hamba Allah SWT dengan arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan dunia dan kemenangan di akhirat. Dunia dan akhirat ini, sekali-kali tidak mungkin dipisahkan oleh seorang muslim dari ideologinya[3].
Untuk bisa mencapai tingkatan itu maka Tuhan memberikan kita bermacam-macam aturan. Aturan atau cara kita berhubungan dengan Tuhan dan aturan atau cara kita berhubungan dengan sesama manusia. Diantara aturan-aturan yang telah Tuhan berikan terdapat garis-garis besar berupa kaedah yang berkenaan dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri seseorang yang disebut dengan urusan kenegaraan.
Akan tetapi agama dalam pengertian Islam adalah meliputi semua kaedah-kaedah, hudud-hudud (batas-batas) dalam muamalah (pergaulan) dalam masyarakat, menurut garis-garis yang ditetapkan oleh Islam. Semua aturan-aturan dalam garis besarnya sudah terhimpun dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tetapi Quran dan Sunnah nabi itu tidak bertangan dan berkaki sendiri untuk menjaga suaya peraturan-peraturannya dijalankan manusia. Yang dimaksud dengan yang tidak bertangan dan berkaki sendiri disini ialah perlunya negara sebagai alat atau instrumen untuk menjalankan perayuran-perauturan agama.
Disini juga jelas terlihat bahwa agama khususnya Islam bukanlah sebuah bagian dari negara tetapi negara yang dijadikan instrumen untuk implementasi syariah Islam. Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan-patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebagaimana mestinya, perlu dan tidak boleh tidak harus ada sesuatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara, sebagaimana telah diperingatkan Rasullulah SAW kepada kaum muslimin : “Sesungguhnya Allah memegang dengan kekuasaan penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan dipegang oleh Quran itu”. (H.R Ibnu Katsir).
Menurut Natsir, bila kita membicarakan pemisahan agama dan negara sering kali dikaitkan dengan negara Turki, yang berpikiran : “Dahulu di Turki ada persatuan agama dengan negara. dibuktikan dengan adanya khalifah, yang juga menjadi Amirul Mukminin. Akan tetapi waktu itu Turki merupakan negara yang terbelakang, tidak modern, negeri “sakit”, negri “bobrok”. Sekarang di Turki agama sudah dipisahklan dari negara, maka dapat dilihat Turki menjadi negara maju dan modern. Ini membuktikan bahwa politik Kemal Pasha benar”.
Jika diterangkan Agama dan Negara itu harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang yang bodoh duduk di kursi jabatan, dikelilingi oleh permpuan-permpuan menonton dayang-dayang menari, itulah yang digambarkan dalam kitab-kitab orang eropa terhadap pemerintahan Islam dan diterangkan oleh guru-guru bangsa Barat[4].
Islam menyatakan bahwa akan datang kerusakan dan bencana jika sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, Islam pun tidak menyuruh atau membiarkan pemerintahan negeri diserahkan kepada orang-orang yang penuh dengan Kuraft, Takhayul dan maksiat. Dalam Quran menyatakan sesungguhnya tidak ada berhak yang menjadi pemimpin kamu, melainkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang beriman,yang mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka itu tunduk ( taat) pada perintah-perintah Allah”. (Q.S. Al-Maidah : 55)[5].
Maka sekarang jika ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki pada zaman Bani Usman, yang demikian itu  hendaknya kita jadikan contoh, bila kita berkata bahwa agama dan negara harus bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki “dengan memisahkan agama” seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang “agama”, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu. Yang semestinya dipisahkan dari negara tersebut bukanlah agamanya melainkan hanyalah kejahatan, maksiat, kemusyrikan dan kesombongan yang telah merajalela[6]. Jika ada orang mengatakan seperti Soekarno tak ada ijma ulama tentang agama dan negara harus bersatu atau tidak sekuler dibantah oleh Natsir bila kita bermain tentang ijma maka tidak ada pula ijma ulama yang mengatakan bahwa agama dan negara tidak harus bersatu.

2.2.   Sistem Politik
Pengertian demokrasi dalam Islam memberikan hak kepada kita sebagai rakyat kecil agar mengkritik, menegur, membetulkan pemerintahan yang dzalim. Apabila itu semua tidak cukup dan pemerintah masih melakukan perbuatan yang dzalim maka Islam memberikan hak kepada kita untuk menghilangkan keDzaliman itu dengan kekuatan atau kekerasan jika diperlukan[7]. Pernah orang bertanya kepada Rasullulah : “Apakah yang sebaik-baik jihad?” maka dijawab oleh Rasullulah SAW : “mengatakan kebenaran terhadap penguasa yang dzalim”. (H.R. Nasai). Rasullulah memperingatkan : “apabila orang melihat sesorang melihat kedzaliman akan tetapi mereka biarkan, tidak mereka betulkan, azabnya jatuh kepada mereka semua, baik si dzalim maupun orang-orang yang membiarkan berlakunya kedzaliman itu” (H.R Abu Daud dan Turmudzi).
Jika kita mau memperbaiki Negara yang seperti itu keadaannya maka perlu dimasukkan ke dasar-dasar hak dan kewajiban antara yang memerintah dan yang diperintah serta harus dimasukkan juga dasar-dasar dan hukum muamalah antara manusia dengan manusia dan yang terakhir harus dimasukkan ke dalam Agama antara manusia dengan Tuhan yaitu beribadah yang khusyu untuk menhindari perbuatan keji dan munkar[8]. Seringkali kita bertanya, “bagaimanakah caranya Tuan mengatur Agama dan Negara? Apakah Quran tuan bisa untuk mengatur Negara yang sudah modern seperti Negara di abad 20 ini yang masalahnya sangat rumit?memang jika kita membuka Quran tidak akan kita temukan bagaimana merancang APBN, tidak juga kita temukan peraturan valuta, aturan devisa negara dan lain-lainnya. Yang diatur oleh Islam adalah dasar dan pokok-pokok untuk mengatur masyarakat manusia umat beragama yang kepentingannya tidak berubah dari zaman ke zaman selama dia masih manusia[9].
Natsir pernah membantah pernyataan Soekarno tentang alasan untuk memisahkan negara dengan agama. Menurut Soekarno “Disuatu negara demokrasi yang ada dewan perwakilan rakyatnya, yang sebenarnya mewakili rakyat, toh dapat ‘dimasukkan’ segala macam keagamaannya dalam tiap-tiap tindakan negara dan ke dalam tiap-tiap wet yang dipakai di dalam negara itu walaupun disitu agama dipisahkan dari negara, asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen, politiknya adalah politik agama, maka semua putusan-putusan parlemen itu dengan sendirinya akan berisi fatwa-fatwa agama pula. Asal sebagian besar dari anggota-anggota parlemen itu politiknya adalah politik Islam, maka tidak akan berjalanlah satu porstel jua pun yang bersifat Islam”[10].
Sedangkan menurut Natsir sendiri, “kalau kebetulan sebagian besar dari anggota parlemen itu yakni yang tidak menghargai peraturan-peraturan agama sepeser pun apakah yang akan terjadi? Dan bagaimana pula sebagaian besar, atau seratus persen dari anggota-anggota parlemen itu politiknya bukan politik Islam walaupun bibirnya mengatakan beragama “Islam” juga (Islam KTP), apa pula yang akan terjadi?[11]. Sekali lagi perlu diulang bahwa menurut pandangan kita kaum muslimin agama Islam bukanlah semata-mata suatu tambahan atau suatu ekstra yang harus dimasukkan kepada negara, tetapi menurut pandangan kaum muslim negara itu adalah menjadi alat dan perkakas bagi berlakunya hukum-hukum Islam.
Disini terletaknya perselisihan pandangan seorang Islam dengan pandangan orang yang bukan Islam”. Islam bersifat demokratis dengan arti bahwa Islam itu anti Istibdad, anti absolutisme, anti sewenang-wenang. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan musyawarah majelis Syura.
Dalam parlemen negara Islam tidaklah akan dipermusyawaratan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dahulu, ataun membahas masalah yang sudah jelas didalam Al-Quran dan Sunnah, ini semua bukanlah hak musyawarah parlemen. Yang dibicarakan dalam parlemen cara-cara untuk menjalankan semua hukum itu. Adapun prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang sudah tetap tidak boleh dibongkar-bongkar lagi dan tidak perlu terlebih dahulu menjalankan mekanisme musyawarah apalagi sistem voting. Sistem kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada demokrasi.
Pikiran Natsir tentang demokrasi mendasarkan diri pada penafsiran Natsir tentang Ijtihad, Syura, dan Ijma. Melalui Ijtihad, Islam dihadapkan dengan dinamika perubahan masyarakat. Sementara Ijma memandu umat Islam untuk mensejajarkan langkahnya seuai kesepakatan mayoritas kaum muslimin di suatu tempat dan pada suatu zaman tentang masalah-masalah bersama senafas dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Tatkala konsep Ijtihad dan Ijma itu dihubungkan oleh Natsir dengan konsep syura, sampailah Natsir pada sebuah model perwujudan demokrasi. Sebuah model parlementer yang memberi ruang besar bagi parlemen untuk mengemban amanah rakyat. Lebih lanjut, Natsir menggambarkan demokrasi sebagai sebuah pemerintahan yang mencerminkan terakomodasinya suara mayoritas dalam perumusan kebijakan dan keputusan politik. Natsir membatasi politik parlemen itu dengan batas-batas (hudud) yang telah ditetapkan Tuhan.
Natsir menamakan demokrasi ala Islam ini sebagai Theistic Democracy (demokrasi berdasar pada nilai-nilai Ketuhanan). Gagasan Natsir tentang demokrasi adalah khas gagasan Islam modernis. Tetapi jika orang lain ingin mengatakan bahwa yang semacam ini bukan demokratis tergantung pandangan masing-masing pribadi. Tetapi perlu diketahu Islam adalah uatu pengertian, suatu paham, yang memunyai sifat-sifat sendiri. Menurut Natsir, Islam tidak usah “demokrasi” seratus persen bukan pula otokrasi seratus persen, Islam itu…ya “ Islam”.         
Ini berarti bahwa Islam itu tidak seperti demokrasi yang diajarkan barat tetapi memiliki prinsip-prinsip dasar demokrasi dan Islam pun menentang absolutisme dalam otokrasi. Pemerintahan Islam itu sesuai dengan apa yang ada dan telah tercantum dalam Al-Quran dan Haddist.
Muhammad Natsir adalah sorang politikus piawai. Saat menerjuni medan perang, ia menjadi panglima yang gagah berani, dan saat berdebat dengan musuh, ia tampil sebagai pakar ilmu dan dakwah. Muhammad Natsir menentang serangan membabi buta yang dilancarkan para misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan para kaki tangan Barat maupun Timur, dengan menerbitkan majalah Pembela Islam.
Ia juga menyerukan Islam sebagai titik tolak kemerdekaan dan kedaulatan, pada saat Soekarno dan antek-anteknya menyerukan nasionalisme Indonesia sebagai titik tolak kemerdekaan. Saat itu Soekarno bersekutu dengan Komunis yang terhimpun dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk melawan Muhammad Natsir dan Partai Masyumi. Pertarungan ini berlangsung hingga tahun 1961, Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan menahan pemimpinnya, terutama Muhmmad Natsir. Namun perlawan kaum muslimin Indonesia tidak padam, terus berlanjut hingga terjadi revolusi militer yang berhasil menggulingkan Soekarno pada tahun 1965.
                        
2.3.   Sistem Pemerintahan
Dalam islam tidak kenal “ kepala agama” seperti paus atau Patriarch. Islam hanya mengenal satu “kepala agama”, ialah Muhamad rasulullah SAW. Beliau sudah wafat dan tak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya.”kepala agama” yang bernama Muhammad ini meninggalkan satu sistem yang bernama islam, yang harus dijalankan oleh kaum Muslimin, dan harus di pelihara dan di jagasupaya dijalankan oleh “kepala-kepala kenegaraan (bergelar Raja, Khalifah, Presiden dan lainnya) yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum muslimin, sahabat-sahabat nabi yang pernah memegang kekuasaan Negara sesudah Rasulullah SAW. Seperti Abubakar, Umar, Usman, Ali tidaklah menjadi merangkap “kepala Agama”.
Mereka itu hanyalah “Kepala Keduniaan”,yang menjadikan pemrintahannya menurut aturan yang telah ditinggalkan oleh “Kepala Agama”. Bilaman dalam suatu negeri yang kebetulan Kepala Negaranya beragam Islam dan disitu terdapat pemerintahan yang bersifat dualistis, dan terdapat konflik antara yang keduniaan dan keagamaan atau antara kemauan masyarakat dengan kemauan agama, maka yang demikian bukanlah terbit dari ajaran islam.bila tejadi pertentangan atau konflik semacam itu sebenarnya kaum muslim wajib bersikap : bila betul-betul hukum dan kehendak manusia sudah bertentangan dengan hukum-hukum dan kehendak Ilahi, hukum dan kehendak Ilahi itulah yang harus berdiri, hukum dan kehendak manusia mestilah gugur! Atau dalam istilah barat itu leg superior derogut leg imperior yan artinya undang yang lebih tinggi mengalahkan undang-undang yang lebih rendah.
Dalam sistem pemerintahan ini jelas terlihat ada sebuah check and balance system, karena kepala kenegaraan dapat berkuasa menetukan setiap kebijakan dalam negerinya namun ada majelis syura yang di dalamnya terdapat orang-orang yang ahli dalam bidangnya masing-masing untuk membahas masalah yang terjadi dan belum di atur dalam Qur’an maupun Hadist.dan hubungan pemerintah dengan rakyat pun akan terjalin harmonis karena sudah otomatis menjadi pekerjaan kepala negara untuk mensejahterakan rakyat, bahkan rakyat dan melakukan kritik terhadap pemerintahan bila pemerintahan.
Banyak hal yang di lakukan natsir pada masa demokrasi parlementer natsir menjadi perdana mentri yang pertama,banyak kebijakan yang di buat oleh nya seperti menyuksekan pemilu tahun 1955, mendewasakan rakyat dalam berpolitik.
“Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau Atheis.” adalah kutipan pidato Muhammad Natsir di Parlemen Indonesia di masa kemerdekaan. Muhammad Natsir adalah tokoh Islam kontemporer dunia Islam, mujahid dan politikus piawai. Mencurahkan segenap kemampuan untuk menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan Indonesia, dan melawan orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam.Hingga riwayat hidupnya tercatat dalam buku “Mereka yang telah pergi, Tokoh-tokoh Pembangunan Pergerakan Islam Kontemporer”.
2.4.   Konsep Kenegaraan
M. Natsir dalam pemikirannya memiliki konsep kenegaraan yang berupa negara Islam. Dimana negara menjadi instrumen atau alat untuk menerapkan syariat islam. Karena pada hakikatnya manusia itu di ciptakan untuk karena telah jelas di dalam aturan-aturan yang di berikan Allah SWT, telah mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan. Bagi M. Natsir sebuah negara itu harus di pimpin oleh orang yang berasal dari kaum muslimin karena dalam islam tidak mungkin dipimpin oleh orang yang bukan berasal dari kaumnya. Jelas bahwa M. Natsir bukanlah pendukung sekularisme dalam negara yaitu memisahkan antara agama dengan negara.
Banyak kritikannya terhadap konsep negara yang dibuat oleh turki muda. Natsir pernah berujar bahwa “Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual muslim yang sempit, tapi pedoman hidup bagi individu, masyarakat dan negara. Islam menentang kesewenang-wenangan manusia terhadap saudaranya. karena itu, kaum muslimin harus berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan. Islam menyetujui prinsip-prinsip negara yang benar. Karena itu, kaum muslimin harus mengelola negara yang merdeka berdasarkan nilai-nilai Islam. Tujuan ini tidak terwujud jika kaum muslimin tidak punya keberanian berjihad untuk mendapatkan kemerdekaan, sesuai dengan nilai-nilai yang diserukan Islam. Mereka juga harus serius membentuk kader dari kalangan pemuda muslim yang terpelajar.”
2.5.   Keterpengaruhan Ideologi
Seperti kita ketahui bahwa Natsir merupakan seorang ang lahir di tengah-tengah keluarga yang memeluk Islam dengan kuat. Maka itu pun menjadi pengaruh untuk ideologinya kedepan. Natsir banyak dilatih dalam ilmu agama dan guru-guru Natsir seperti ahmad husain, HOS Tjokroaminoto pulalah yang membentuk dan mempengaruhi ideologi nya yaitu Islam. Bagi Natsir sudah jelas bahwa dalam setiap langkah dan setiap perbuatnnya di dasarkan untuk beribadah kepada Allah SWT. Ada beberapa tokoh islam yang menjadi tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam dirinya dan mempengaruhi perjuangannya, yaitu: “Haji Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna dnImam Al-Hudhaibi. Sedang tokoh tokoh Indonesia adalah Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati.”
2.6.   Bentuk Negara
Jika timbul pertanyaan bahwa pada suatu negara seperti Indonesia , kalau segala sesuatu urusan di atur menurut kemauan islam, sedangkan penduduknya ada bermacam-macam Agama?maka di jawab apabila kekuasaan ada dalam tangan orang islam , orang yang beragama lain tidak perlu khawatir. Karena dalam satu negara yang berdasar islam,orang-orang yang bukan islam mendapatkan kemerdekaan beragama dengan luas. Bahakan mungkin lebih luas lagi dari yang di berikan negara-negara Eropa Terhadap agama-agama yang ada disana.dan tidak akan memberikan kerugian apapun bagi penduduk yang bukan beragama islam apabila dalam negeri itu berlaku hukum-hukum islam dalam urusan muamalah. Karena peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan hal-hal semacam itu. Dengan berlakunya undang-undang islam, agam mereka tidak akan terganggu,tidak akan rusak dan tidak akan berkurang sedikit pun.
Tetapi sebaliknya, orang yang tidak mau mendasarkan Negara kepada hukum-hukum islam dengan alasan tidak mau menyakiti hati orang yang bukan beragama islam, sebenarnya (secara sadar maupun tidak) berlaku dzalim kepada orang islam sendiri yang jumlahnya lebih dari 80 persen jumlah penduduk yang ada di indonesia. Tindakan seperti itu mengugurkan sebagian besar dari peraturan-peraturan Agama Islam. Ini berarti merusakan hak-hak mayoritas, bukan lantaran hak-hak itu berlawanan dengan hak-hak kepentingan minoritas, tapi semata-mata takut, apabila kelompok minoritas tidak suka.
                                                                  
KESIMPULAN
Bagi Natsir agama Islam berlainan dengan agama lainnya, karena di dalam Islam mempunyai aturan yang beberapa bagiannya berkenaan dengan hukum kenegaraan dan hukum pidana, yang mana semuanya tak dapat dipisahkan dari Agama Islam itu sendiri.
Orang yang tidak mau kalau Negara menjalankan semua peraturan-peraturan Agama Ialam yang berhubungan dengan hal-hal yang tersebut, dengan mengatakan bahwa Negara harus berdiri diatas semua Agama atau dengan alasan bahwa kita perlu “demokratis”.pada hakikatnya bukan memisahakan Agama dari Negara, melainkan melemparkan sebagian dari hukum –hukum islam yang berkenaan dengan hal-hal kenegaraan dan hukum muamalah.
Islam memang bersifat demokratis tetapi bukan berarti bahwa semua hal (termasuk juga hukum-hukmnya yang sudah tetap) harus diatur ulang pula lebih dahulu dalam parlemen, dimana nasibnya di gantungkan kepada sistem voting.
Orang berkata, bahwa kita kaum muslimin haruslah bergerak dan berjuang dengan sekuat tenaga, agar mendapatkan suara yang terbanyak dalam parlemen dan dengan begitu mungkin bisa memasukan Hukum-hukum islam menjadi undang-undang Negara. Akan tetapi semata-mata hanya suatu nasihat yang harus kita hadapkan kepada kaum muslimin yang berada dibawah pemerintah yang kekuasaanya dipegang oleh orang-orang bukan islam. Yang menjsdi pokok pembicaraan , ialah bagaimanaka kaedah, apakah prinsip-prindipnya orang islam itu dalam mengatur negara, bilamana kekuasaan negara sudah dapat di tangan mereka. Ini perlu di perhatikan agar umat tidak tertipu.
Bagi kaum kita yang berhakim kepada firman Allah dan sunnah Rasul dalam masalah yang bersangkutan dengan agama Islam, cukup kiranya kalau kita persilahkan membuka Kitab Allah sendiri, dimana boleh dikatakan berteberan Firman Ilahi yang dengan tgas dan nyata serta mudah di pahami, yang mendudukan perkara ini pada tempatnya dengan tidak usah berpanjang falsafah mengenai sekuler atau tidak sekuler, dinamis atau tidak dinamis, Allah berfirman : “sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab dengan Haq, supaya engkau menghukum (dengan kitab itu) diantara manusia, dengan cara yang kami tunjukan kepadamu”. (Q.S> An-Nisa : 105). Yang bisa menghukum diantara manusia, ialah yang memegang kekuasaan atau penguasa. “dan jatuhkanlah hukum hukum diantara mereka dengan (berdasar kepada) apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah turutkan hawa nafsu mereka. (Q.S> Al-Maidah : 49). Kalau mereka yang memegang kekuasaan, dan yang berhak meberi hukum, antara penduduk negeri tidak mengambil Undang-undang ilahi sebagai dasar, tetapi menurut hawa zaman dan kedinamisan rasionalisme yang ta terbatas,maka dia itu bukanlah “memisahkan” Agama dari Negara tetapi melemparkan hukum-hukum Agama yang bersangkutan.
 

Daftar Pustaka
Natsir, M, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta : Media Dakwah, 2001.
Hegel G.W.F, Nalar dalam Sejarah Hegel, Jakarta : Teraju PT Mizan Publika, Maret 2005.

Agitasi, Propaganda dan Retorika


Istilah agitasi, propaganda, dan retorika atau orang sering menyebutnya AGITOP (Agitasi, Orasi dan Propaganda) adalah bagian dari “cara” berkomunikasi. Sebetulnya ada banyak cara berkomunikasi lainya seperti penerangan, jurnalistik, humas, publisitas, pameran, dll. Seperti apa yang menjadi tujuan umum dari komunikasi maka AGITOP ditujukan juga untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku orang lain seperti yang diharapkan oleh komunikator (pengirim pesan).
Karena terkait masalah perilaku individu dalam situasi sosial, AGITOP tidak lepas dari masalah psikologi sosial. AGITOP akan menjadi efektif apabila disertai dengan pemahaman atas faktor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi sikap, maupun perilaku individu maupun kelompok. Faktor internal seperti kepribadian, sistem nilai, motivasi, serta sikap terhadap sesuatu yang ada disekitarnya, sedangkan secara eksternal dipengaruhi oleh sistem nilai yang hidup ditengah masyarakat, kondisi lingkungan alam, tata ruang dan kondisi sosial ekonomi. AGITOP menjadi penting bagi organisasi masyarakat (ormas) maupun partai politik (parpol) hingga perusahaan komersial sekalipun karena menyangkut upaya-upaya untuk mecapai kemenangan maupun mempengaruhi sikap, pendapat maupun perilaku dari pihak-pihak lain baik itu pihak musuh (politik, ideologi, saingan bisnis), pihak netral maupun kawan. Bagi ormas atau Parpol, muara dari AGITOP ditujukan bagi sasaran pencapaian ke arah cita-cita perubahan sosial dari ideologi ormas, atau parpol yang bersangkutan.
Seorang Komunikator (agitator, propagandator, ataupun orator) yang baik, setidak-tidaknya harus mengerti unsur-unsur dasar komunikasi. Pakar komunikasi Harold Lasswell (1972) menyebutnya dalam pertanyaan : Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect ?. ( Siapa mengatakan apa melalui apa untuk siapa dan pengaruhnya apa ?). Siapa (Komunikator), mengatakan apa (Pesan), melalui apa (Media), untuk siapa (komunikan/penerima pesan), pengaruhnya apa (efek). Analisa yang mendalam terhadap unsur-unsur komunikasi diatas juga akan turut mempertajam strategi komunikasi bagi sebuah organisasi.
AGITASI
Dalam makna denotatifnya, agitasi berarti hasutan kepada orang banyak untuk mengadakan huru-hara, pemberontakan dan lain sebagainya. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh tokoh/aktivis partai politik, ormas dan lain sebagainya dalam sesi pidato maupun tulisan. Dalam praktek, dikarenakan kegiatan agitasi yang cenderung “menghasut” maka seringkali disebut sebagai kegiatan “provokasi” atau sebagai perbuatan untuk membangkitkan kemarahan. Bentuk agitasi sebetulnya bisa dilakukan secara individual maupun dalam basis kelompok (massa).
Beberapa perilaku kolektif yang dapat dijadikan sebagai pemicu dalam proses agitasi adalah :
1. Perbedaan kepentingan, seperti misalnya isu SARA (Suku, Agama, Ras). Perbedaan kepentingan ini bisa menjadi titik awal keresahan masyarakat yang dapat dipicu dalam proses agitasi
2. Ketegangan sosial, ketegangan sosial biasanya timbul sebagai pertentangan antar kelompok baik wilayah, antar suku, agama, maupun pertentangan antara pemerintah dengan rakyat.
3. Tumbuh dan menyebarnya keyakinan untuk melakukan aksi, ketika kelompok merasa dirugikan oleh kelompok lainya, memungkinkan timbul dendam kesumat dalam dirinya. Hal ini bisa menimbulkan keyakinan untuk dapat melakukan suatu aksi bersama;
Dalam politik, ketiga perilaku kolektif diatas akan menjadi ledakan sosial apabila ada faktor penggerak (provokator)nya. Misalnya ketidakpuasan rakyat kecil terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada mereka juga bisa menjadi sebuah alat pemicu yang efektif untuk mendongkel sebuah rezim. Dalam tahap selanjutnya, mobilisasi massa akan terbentuk apabila ledakan sosial yang muncul dapat memancing solidaritas massa. Hingga pada eskalasi tertentu mebisa munculkan kondisi collaps.
Dalam proses agitasi pemahaman perilaku massa menjadi penting. Agar agitasi dapat dilakukan secara efektif maka perlu diperhatikan sifat orang-orang dalam kelompok(massa) seperti ; massa yang cenderung tidak rasional, mudah tersugesti, emosional, lebih berani mengambil resiko, tidak bermoral. Kemampuan seorang agitator untuk mengontrol emosi massa menjadi kunci dari keberhasilan proses agitasi massa. Sedangkan pendekatan hubungan interpersonal merupakan kunci sukses dalam agitasi individu.


PROPAGANDA
Propaganda sendiri berarti penerangan ( paham, pendapat, dsb) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang lain agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Kegiatan propaganda ini banyak dipakai oleh berbagai macam organisasi baik itu orgnisasi massa, parpol, hingga perusahaan yang berorientasi profit sekalipun baik kepada kawan, lawan maupun pihak netral. Propaganda juga merupakan inti dari kegiatan perang urat syaraf (nerve warfare) baik itu berupa perang ideologi, politik, ide, kata-kata, kecerdasan, dll.
Kegiatan propaganda menurut bentuknya seringkali digolongkan dalam dua jenis, yaitu propaganda terbuka dan tertutup. Propaganda terbuka ini dilakukan dengan mengungkapkan sumber, kegiatan dan tujuannya secara terbuka. Sebaliknya, propaganda tertutup dilakukan dengan menyembunyikan sumber kegiatan dan tujuannya.
Para pakar organisasi menggolongkan 3 (tiga) jenis model propaganda. Menurut William E Daugherty, ada 3 (tiga) jenis propaganda : 1. Propaganda putih (white propaganda ), yaitu propaganda yang diketahui sumbernya secara jelas, atau sering disebut sebagai propaganda terbuka. Misalnya propaganda secara terang-terangan melalui media massa. Biasanya propaganda terbuka ini juga dibalas dengan propaganda dari pihak lainya (counter propaganda). 2. Propaganda Hitam (black propaganda), yaitu propaganda yang menyebutkan sumbernya tapi bukan sumber yang sebenarnya. Sifatnya terselubung sehingga alamat yang dituju sebagai sumbernya tidak jelas. 3. Propaganda abu-abu (gray propaganda), yaitu propaganda yang mengaburkan proses indentifikasi sumbernya. Penerbit Harcourt, Brace and Company menyebarkan publikasi berjudul The Fine Art of Propaganda atau yang sering disebut sebagai the Device of Propaganda (muslihat propaganda) yang terdiri dari 7 (tujuh) jenis propaganda sebagai berikut : 1. Penggunaan nama ejekan, yaitu memberikan nama-nama ejekan kepada suatuide, kepercayaan, jabatan, kelompok bangsa, ras dll agar khalayak menolak atau mencercanya tanpa mengkaji kebenaranya. 2. Penggunaan kata-kata muluk, yaitu memberikan istilah muluk dengan tujuan agar khalayak menerima dan menyetujuinya tanpa upaya memeriksa kebenaranya. 3. Pengalihan, yaitu dengan menggunakan otoritas atau prestise yang mengandung nilai kehormatan yang dialihkan kepada sesuatu agar khalayak menerimanya. 4. Pengutipan, yaitu dilakukan dengan cara mengutip kata-kata orang terkenal mengenai baik tidaknya suatu ide atau produk, dengan tujuan agar publik mengikutinya. 5. Perendahan diri, yaitu teknik propaganda untuk memikat simpati khalayak dengan meyakinkan bahwa seseorang dan gagasannya itu baik. 6. Pemalsuan, yaitu dilakukan dengan cara menutup-nutupi hal-hal yang faktual atau sesungguhnya dengan mengemukakan bukti bukti palsu sehingga khalayak terkecoh. 7. Hura-hura, yaitu propaganda dengan melakukan ajakan khalayak secara beramai-ramai menyetujui suatu gagasan atau program dengan terlebih dahulu meyakinkan bahwa yang lainya telah menyetujui. Seperti halnya komunikasi lainya maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan propaganda : 1. Siapa yang dijadikan sasaran propaganda, kawan, lawan, atau pihak netral 2. Media apa yang akan dipergunakan, surat kabar, radio, majalah, televisi, sms, buku, film, pamlet, poster dll. Untuk musuh misalnya melalui desas-desus dan pihak netral dengan negosiasi atau diplomasi 3. Pesan apa yang akan disebarkan 4. Apa yang menjadi tujuan dari propaganda, misalnya ketakutan , kekacauan, ketidakpercayaan dsb.
RETORIKA
Retorika menurut arti katanya adalah ilmu bicara (rhetorica). Menurut Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren adalah seni penggunaan bahasa secara efektif. Namun sebagian besar pakar komunikasi mengartikan retorika tidak hanya menyangkut pidato (public speaking), tapi juga termasuk seni menulis. Menurut A. Hitler hakekat retorika adalah senjata psikis untuk untuk memelihara massa dalam keadaan perbudakan psikis.
Retorika sebagai seni berbicara sudah dipelajari sejak abad ke lima sebelum masehi, yaitu sejak kaum Sophis di Yunani mengajarkan pengetahuan mengenai politik dan pemerintahan dengan penekanan utama dalam kemampuan berpidato. Georgias (480-370 SM) sebagai tokoh aliran Sophisme menyatakan kebenaran suatu pendapat hanya dapat dibuktikan jika tercapai kemenangan dalam pembicaraan. Namun karena dalam praktek retorika lebih cenderung dimaksudkan untuk memutarbalikan fakta demi kemenangan, maka Plato mendirikan akademia sebagai proses pencarian kebenaran dengan pengembangan thesa dan antithesa. Menurut Plato sendiri retorika bertujuan untuk memberikan kemampuan menggunakan bahasa yang sempurna dan merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan dalam terutama dalam bidang politik. Menurut Effendy, dengan mencontohkan pada figur Bung Karno, seorang orator politik yang baik setidak-tidaknya harus memiliki tiga prasyarat sebagai berikut : Ethos, kredibilitas sumber. Pathos, menunjukan imbauan emosional. Logos, menunjukan imbauan logis. Menurut teori, setidaknya ada empat bagian dalam pidato : 1. Exordium (kepala), adalah bagian pendahuluan. Fungsinya sebagai pengantar ke arah pokok persoalan yang akan dibahas dan sebagai upaya untuk menyiapkan mental para hadirin. Yang terpenting adalah membangkitkan perhatian. Beberapa cara untuk mengundang perhatian adalah sebagai berikut : Mengemukakan kutipan, mengajukan pertanyaan, menyajikan ilustasi yang spesifik, memberikan fakta yang mengejutkan, menyajikan hal yang mengundang rasa manusiawi, mengetengahkan pengalaman yang ganjil. Tentu dari sekian cara tersebut juga harus disesuaikan dengan latar belakang kebudayaan dan pendidikan. 2. Protesis (Punggung), adalah bagian pokok pembahasan yang ditampilkan dengan terlebih dahulu mengemukakan latar belakangnya. 3. Argumenta (Perut), adalah batang tubuh dari pidato yang merupakan satu kesatuan dengan punggung atau pokok pembahasan. Argumenta adalah alasan yang mendukung hal-hal yang dikemukakanpada bagian protesis. 4. Conclusio( ekor), adalah bagian akhir dari naskah pidato yang merupakan kesimpulan dari uraian keseluruhan sebelumnya. Konklusia adalah merupakan sebuah penegasan , hasil pertimbangan yang mengandung justifikasi si orator. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun conclusio : jangan mengemukankan fakta baru, jangan menggunakan kata-kata mubazir, jangan menampilkan hal-hal yang menimbulkan antiklimaks. Pidato dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan teks dan tanpa teks. Namun semuanya harus tetap dipersiapkan dengan baik. Pepatah tua mengatakan “Qui ascendit sine labore, desendit sine honore” (siapa yang naik tanpa kerja, akan turun tanpa penghormatan”.

http://suroto-idea.blogspot.com/2009/06/oleh-suroto-banyak-bicara-banyak.html





Menurut kamus Oxford, mengagitasi adalah “membangkitkan perhatian (to excite) atau mendorong (stir it up)”, sedangkan propaganda adalah sebuah “rencana sistematis atau gerakan bersama untuk penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin.
Definisi ini bukan merupakan titik pijak yang buruk. Agitasi memfokuskan diri pada sebuah isu aktual, berupaya ‘mendorong’ suatu tindakan terhadap isu tersebut. Propaganda berurusan dengan penjelasan gagasan-gagasan secara terinci dan lebih sistematis.
Seorang marxis perintis di Rusia, Plekhanov, menunjukkan sebuah konsekuensi yang penting dari pembedaan ini. “Seorang propagandis menyajikan banyak gagasan ke satu atau sedikit orang; seorang agitator menyajikan hanya satu atau sedikit gagasan, tetapi menyajikannya ke sejumlah besar orang (a mass of people)”. Seperti semua generalisasi yang seperti itu, pernyataan di atas jangan dipahami secara sangat harfiah. Propaganda, dalam keadaan yang menguntungkan, bisa meraih ribuan atau puluhan ribu orang. Dan ‘sejumlah besar orang’ yang dicapai oleh agitasi jumlahnya sangat tidak tetap. Sekalipun demikian, inti dari pernyataan Plekhanov itu memiliki landasan yang kuat (sound).

Daftar Pustaka
http://www.marxists.org/indonesia/archive/hallas/agitasi.htm